"Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada Nya." ar Rahmaan (6)
Jumat, 20 Mei 2011
Ikan Koan Bersihkan Eceng Gondok Danau Kerinci
Jambi (ANTARA News)- Eceng Gondok, tanaman gulma yang sebelumnya merusak keindahan Danau Kerinci, kini sudah menghilang 100 persen berkat program penyebaran ikan koan di danau tersebut mulai tahun 1995.
"Eceng Gondok yang dulu sudah sangat mengkuatirkan karena nyaris menutupi seluruh permukaan danau Kerinci, kini sudah dapat dihilangkan dengan restoking sekitar 2000 ekor bibit ikan Koan pada tahun 1995," kata Kepala Desa Jujun Kecamatan Danau Kerinci, Supratman di Kerinci, Kamis.
Dulu, kata Supratman, eceng gondok menutup permukaan danau sehingga menjadi penghalang bagi para nelayan untuk menangkap ikan karena perahu tidak bisa melewati padang eceng gondok.
"Saat itu masyarakat nelayan Danau Kerinci sampai putus asa dan beralih meninggalkan profesinya, membengkalaikan biduk dan perahu serta jala, pukat, pancing dan perkakas lainnya hingga lapuk, saat itu masyarakat desa-desa disekitar Danau Kerinci memulai jadi tenaga kerja ilegal ke Malaysia," paparnya.
Karena kondisi itulah, Dinas Perikanan berinisiatif membeli dengan cara mengimpor jenis ikan Koan dari China yang dikenal sebagai ikan pembersih peraiaran danau dan sungai.
Program itu, tambah Supratman terbukti ampuh setelah kini lebih 10 tahun danau Kerinci telah kembali bersih terbebas dari eceng gondok 100 persen.
Danau Kerinci kini kembali indah bahkan jauh lebih indah dari dulu, sementara produksi ikan Koan kini sudah menjadi komoditas lain yang memberikan penghasilan kepada para nelayan.
Selain keberadaan berbagai jenis ikan khas dan endemik Danau Kerinci seperti Semah, Medik, Barau, Puyau, Tilan, Sepat, dan belut, habitat di danau tersebut juga sudah kembali pulih, tambahnya.
Ikan Koan memang terkenal sebagai ikan pemangsa tanaman air khususnya eceng gondok, ikan tersebut adalah ikan rakus, perkembang biakan dan pertumbuhannya terbilang cepat, selain kelezatan dan kandungan gizi dagingnya tergolong tinggi.
"Masyarakat nelayan desa-desa di Kecamatan Danau Kerinci tentu saja sangat besyukur dan berterimakasih dengan program penyebaran ikan koan di danau pada 1995, karen hasilnya kini telah 100 persen, daerah lain di tanah air yang memiliki permasalahan eceng gondok di perairannya, dapat pula belajar dari program Koan di Danau Kerinci ini," kata dia.
(http://antaranews.com/berita/259262/ikan-koan-bersihkan-eceng-gondok-danau-kerinci)
Kamis, 31 Maret 2011
Ganggang untuk Bersihkan Air dari Limbah Nuklir
Ganggang bisa jadi solusi untuk bersihkan limbah nuklir setelah bencana, seperti bencana di Fukushima, Jepang.
Pada saat pertemuan American Chemical Society di Anaheim, California, Amerika Serikat, ilmuwan dari Northwestern University di Evanston, Illinois, mengutarakan kalau ganggang Closterium moniliferum punya kemampuan menghilangkan isotop radioaktif strontium dari air. Ganggang tersebut menyimpan strontium dalam bentuk kristal yang terbentuk dalam struktur subseluler.
Masalahnya, hasil limbah reaktor atau pencemaran akibat kecelakaan juga mengandung bahan lain, seperti kalsium dan kalsium yang dihasilkan jumlahnya bisa mencapai 7 miliar kali lipat dibandingkan strontium. Ukuran strontium dan kalsium yang serupa membuat keduanya makin sulit dipisahkan.
Ganggang C. moniliferum sebetulnya tidak tertarik pada strontium. Ganggang yang mudah ditemukan ini tertarik pada barium. Tapi, ciri strontium yang berada antara kalsium dan barium membuat strontium membuat C. moniliferum juga mengakibatkan strontium mengkristal.
Strontium merupakan salah satu isotop berbahaya karena bisa masuk ke dalam tulang, sumsum, darah, dan jaringan lain. Radiasi yang dipancarkannya bisa menyebabkan kanker. Radioisotop itu baru akan berkurang setelah 30 tahun. "Itulah yang membuat strontium merupakan salah satu ancaman utama," kata Minna Krejci yang melakukan penelitian.
Krejci belum melakukan pengujian daya tahan ganggang saat ada aktivitas radioaktif. Tapi Krejci optimis ganggang dapat bertahan cukup lama untuk menghilangkan strontium karena proses pembersihan berlangsung cepat. "Pengkristalan berlangsung dalam waktu 30 menit sampai 1 jam," katanya. (Sumber: Nature)
http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/868/ganggang-untuk-bersihkan-air-dari-limbah-nuklir
Rabu, 23 Maret 2011
Setiap Hari, 136 Anak Meninggal Karena Tak Dapat Air Bersih
Data Bank Dunia tahun 2008 menunjukkan, sebanyak 50.000 anak Indonesia meninggal dunia karena masalah sanitasi air dalam setahun. Itu berarti rata-rata ada 136 anak yang meninggal setiap hari karena tak terjaminnya kebutuhan air bersih.
Pernyataan ini disampaikan Saiful Munir, Sekjen Lingkar Studi Aksi Demokrasi Indonesia (LS ADI), saat unjuk rasa peringatan Hari Air Sedunia di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (22/3).
"Kebijakan yang keliru dari pihak pemerintah dalam menyediakan akses air bersih kepada masyarakat menyebabkan banyak anak menjadi korban," kata Saiful. Menurutnya, seharusnya pemerintah bertugas melaksanakan amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah memanfaatkan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Itu artinya, pemerintah perlu mengupayakan air bersih gratis bagi rakyat. "Bukannya diprivatisasi sebagaimana terjadi saat ini," tambah Saiful.
Muhammad Reza, Koordinator Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), menambahkan, laporan Millenium Development Goals (MDGs) yang dirilis Bappenas tahun 2010 mengungkapkan, hanya 47,71 persen rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih yang layak.
"Selain itu, hanya 51,19 persen rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi," tambah Reza. Hal ini, menurutnya, menunjukkan ada yang keliru dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam mengelola kekayaan negara yang menjadi hak masyarakat. (Imanuel More)
Warga Kota Sulit Akses Air Bersih
Oleh: Agung Dwi Cahyadi
Warga kota semakin sulit mengakses air bersih. Kondisi DKI Jakarta pun tak lebih baik dari daerah lain.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2010, penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih secara optimal baru 36,6 persen. Selain itu, ada lima provinsi yang jumlah penduduknya semakin sulit mengakses air bersih yaitu, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Gorontalo, Jawa Timur, dan Kalimantan Tengah. Kondisi terparah justru terjadi di DKI Jakarta.
Pada lokakarya internasional yang diselenggarakan UNESCO bekerja sama dengan LIPI dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia Selasa (22/3), terungkap fakta yang mengenaskan. Warga miskin kota ternyata lebih sulit dan harus membayar lebih mahal untuk memperoleh air bersih.
Sebagai gambaran, menurut koodinator nasional Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Hamong Santono, warga miskin di Jakarta harus mengeluarkan uang Rp1.000 - Rp1.500 per jeriken kapasitas 20 liter. Pengeluaran itu setara dengan Rp50.000 - Rp75.000 per meter kubik. Padahal, harga air bersih dari PDAM hanya Rp5.000 - Rp6.000 per meter kubik.
Dalam lokakarya bertema "Ecohydrology for Managing Sustainable Water Futures" tersebut, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, yang menjadi salah seorang pembicara, juga mengakui rendahnya akses air bersih. Menurutnya, sampai saat ini baru 50 persen penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih. Data lain menyebutkan, khusus untuk DKI Jakarta, Pemprov DKI Jakarta hanya mampu menyediakan 50 persen dari total kebutuhan air bersih warganya melalui dua operator.
Kepala LIPI Prof. Dr. Lukman Hakim menyebutkan, kondisi tersebut membuktikan bahwa pendekatan konvensional untuk pengelolaan sumber daya air tidak lagi cukup untuk membendung krisis air. "Oleh karena itu, diperlukan kebijakan sumber daya air yang berkelanjutan guna meningkatkan pembangunan sosial," katanya.
Lebih lanjut, Lukman mengatakan bahwa ekohidrologi bisa menemukan solusi masalah tersebut. Oleh sebab itu, Ecohydrology Programme (EHP) perlu mendapat perhatian serius karena program ini berfokus pada pengetahuan yang lebih baik tentang hubungan timbal balik antara siklus hidrologi dan ekosistem yang bisa memberikan kontribusi terhadap pengelolaan biaya yang efektif dan ramah lingkungan. “Tujuan EHP adalah untuk mengurai kesenjangan pengetahuan dalam penanganan masalah yang berkaitan dengan sistem air kritis,” tegasnya. (Sumber: LIPI, Kompas, Sindo)
Senin, 21 Maret 2011
Menangguk Laba Dari Gas Rumah Kaca
Hampir semua pihak, mulai kelompok musik The Rolling Stones hingga pemerintah Indonesia berusaha untuk menekan laju emisi karbon ke udara. Bangkitnya sebuah kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan, atau upaya menghapus dosa?
Oleh Firman Firdaus
LIMA abad yang lalu, Martin Luther dan kaum reformis sezamannya pernah mengutuk kebijakan gereja Katolik, di mana seseorang bisa memperoleh pengampunan atas dosa-dosanya di masa lalu dengan membayar sejumlah uang. Praktik penghapusan dosa tersebut mungkin bisa menjadi analogi sekaligus simplifikasi yang pas untuk menjelaskan rumitnya perdagangan karbon, istilah yang menggaung beberapa tahun belakangan ini.
Melalui perdagangan karbon, negara-negara industri—sebagai penyumbang terbesar emisi gas karbon dioksida, biang kerok pemanasan global—bisa membayar suatu negara berkembang yang mampu mengupayakan pengurangan emisi karbon. Dengan begitu, ’dosa-dosa lingkungan’ negara tersebut dianggap tidak ada atau berkurang.
Perdagangan karbon dilahirkan melalui perjalanan yang amat panjang. Adalah laporan para ilmuwan pada 1990 tentang Perubahan Iklim yang telah memukul lonceng tanda bahaya bagi kehidupan umat manusia, dan mendesak agar dibentuk suatu kesepakatan global untuk mengatasi perubahan iklim. Dua tahun kemudian, disepakatilah konvensi PBB tentang perubahan iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change atau UNFCCC) yang tujuan pokoknya menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) pada tingkat yang aman dan tidak mengganggu iklim global.
Berbagai paktapun diteken setelahnya. Yang terpenting adalah pertemuan di Kyoto, Jepang, pada 1997. Perjanjian yang dikenal dengan Protokol Kyoto itu mewajibkan negara-negara industri untuk mengurangi emisi GRK—salah satunya karbon dioksida—sebanyak 5,2% di bawah kadar yang mereka lepas pada tahun 1990 dalam kurun waktu lima tahun (mulai 2008-2012, yang disebut sebagai periode komitmen pertama). Protokol ini mulai mengikat secara hukum setelah Rusia meratifikasi pada 16 November 2004 sebagai negara ke-55. Hal ini sesuai kesepakatan, bahwa protokol mulai berlaku jika telah diratifikasi minimal 55 negara. Saat ini, sedikitnya 140 negara sudah menandatangani.
Protokol Kyoto menawarkan tiga mekanisme fleksibel untuk membantu negara-negara industri menekan laju emisi GRK: Implementasi Bersama (joint implementation/JI), Perdagangan Emisi Internasional (international emission trading/IET) dan Mekanisme Pembangunan Bersih (clean development mechanism atau CDM). CDM digagas karena begitu sulit memaksa negara-negara tersebut mengurangi emisi karbonnya, akibat begitu besarnya ketergantungan mereka pada konsumsi bahan bakar minyak. Sampai sekarang, Amerika Serikat saja masih menolak Protokol Kyoto. Dari tiga mekanisme fleksibel tersebut, hanya CDM yang melibatkan negara-negara berkembang. Dan, melalui CDM inilah tata cara perdagangan karbon dunia diatur.
Alhasil, karbon kini menjadi komoditas bisnis dadakan; FIFA, federasi sepak bola dunia, membeli beberapa kredit karbon sehubungan pelaksanaan Piala Dunia 2006 lalu. Kelompok musik kenamaan The Rolling Stones dan beberapa band lain membelinya sebagai kompensasi emisi GRK yang mereka buang dalam tur-tur mereka. Sementara Paramount, studio film Hollywood, juga membeli kredit karbon atas setiap emisi yang mereka keluarkan selama proses pembuatan film kontroversial tentang pemanasan global, An Inconvenient Truth (2006).
Bank Dunia tercatat sebagai pembeli kredit karbon paling royal: nilai transaksi pada 2005 diestimasi mencapai 10 miliar dolar. Bagi beberapa ”pemain”, jual-beli karbon memang perkara citra. Sampai saat ini, kebanyakan pembeli karbon adalah firma yang relatif beremisi rendah, seperti bank-bank, yang berharap bisa menggaet klien yang memiliki visi lingkungan. Namun bagi pemain lain, bisnis karbon adalah business as usual yang menggiurkan.
Hitung-hitungan bisnisnya relatif sederhana. Setiap upaya penurunan emisi yang setara dengan satu ton karbon (tCO2e) akan diganjar satu CER (certified emission reduction). Sertifikat yang mirip surat berharga ini dikeluarkan oleh Badan Eksekutif CDM di bawah UNFCCC. Negara industri yang sudah meratifikasi Protokol Kyoto (disebut dengan kelompok Annex-1), atau lembaga nonpemerintah manapun yang merasa berkepentingan, bisa membeli CER ini dari proyek-proyek CDM di negara berkembang (non-Annex-1) yang tidak diwajibkan untuk mengurangi emisi.
Layaknya komoditas dagang, harga CER bisa bervariasi, tergantung kesepakatan pihak-pihak yang bertransaksi. Tapi, secara rerata, harga satu CER berkisar 5-15 dolar AS. Jadi, jika suatu proyek CDM berhasil memproyeksikan pengurangan emisi sebesar 1 juta ton CO2e dalam setahun, pendapatan kasar yang diperoleh proyek tersebut satu tahunnya sekitar 10 juta dolar AS (jika diambil harga tengah 10 juta dolar) dari penjualan CER.
Perlu diketahui, istilah ”reduksi emisi karbon” tidak serta-merta berarti pengurangan kadar karbon yang sudah ada saat ini di udara, tetapi merupakan upaya menekan bertambahnya emisi GRK akibat penggunaan bahan bakar fosil. Jadi, angka-angka tersebut pada dasarnya adalah jumlah karbon yang diemisikan jika tanpa proyek CDM.
Di satu sisi, solusi ini terkesan menyederhanakan masalah dan kental dengan unsur ketidakadilan: negara industri bebas mengotori atmosfer selama mampu membeli CER sebagai kompensasinya. Tapi di sisi lain, bisnis karbon membuka berbagai peluang: membangkitkan perekonomian negara dunia ketiga sekaligus menciptakan kondisi lingkungan yang relatif lebih baik. ”Ide besarnya adalah memberikan nilai moneter pada usaha perbaikan lingkungan. Selama ini, konservasi lingkungan dianggap sebagai cost, liabilitas. Tapi dengan adanya CDM, pengelolaan lingkungan juga berarti aset berharga,” kata Agus P. Sari, Direktur Regional Asia Tenggara EcoSecurities, salah satu pemain besar perdagangan karbon yang bermarkas di Oxford, Inggris.
SETELAH meratifikasi Protokol Kyoto melalui Undang-undang Nomor 17 tahun 2004, Indonesia membuka peluang ikut serta dalam arus perdagangan karbon. Sebagai fasilitator dan koordinator CDM di tingkat nasional, pemerintah membentuk Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup pada Juli 2005. Di setiap negara, komisi semacam juga ada dengan sebutan DNA (designated national authority).
”Setiap proyek CDM harus diverifikasi dan divalidasi oleh DNA di masing-masing negara,” ucap Prasetyadi Utomo dari Sekretariat Komnas MPB. Menurut pengakuannya, Komnas MPB sama sekali tidak menarik pungutan apapun dari proses verifikasi. Hal ini dibenarkan oleh Agus selaku pengembang proyek. ”Memang cukup ganjil, tapi begitulah kenyataannya,” ujarnya dengan nada seloroh.
Berdasarkan Kajian Strategis Nasional sektor Kehutanan dan Energi (KSNKE) yang dilakukan pada tahun 2001-2002, Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi GRK sekitar 23-24 juta ton CO2e per tahun. Jika dikonversi ke nilai CER, potensinya menjadi 230 juta dolar AS dalam setahun (sekitar 2,3 triliun rupiah). Bukan jumlah yang kecil.
Khusus sektor kehutanan (nonenergi), catatan KSNKE menyebut ada sekitar 15 juta hektare lahan di seluruh daerah di Indonesia yang bisa diajukan untuk proyek CDM. Mengetahui fakta ini, akhir-akhir ini banyak pemerintah daerah yang mempromosikan hutan di daerahnya untuk dijadikan proyek CDM. Padahal, masalahnya ternyata tidak sesederhana itu.
“Potensi kebocoran (leakage) hutan Indonesia cukup besar,” kata Alue Dohong, penggiat lingkungan dari Wetlands International Indonesia Program. Dalam skema CDM, leakage tidak diperkenankan. Leakage, papar Alue, bisa disebabkan oleh belum mapannya tata kelola hutan, masih tingginya insiden kebakaran hutan, maraknya pembalakan liar, dan inkonsistensi kebijakan penataan ruang. “Belum jelasnya metode penentuan batas wilayah dan kriteria hutan yang memenuhi syarat juga menjadi batu sandungan untuk mengembangkan hutan kita sebagai proyek CDM,” imbuh Alue.
Hutan yang diperkenankan, misalnya, adalah hutan ”buatan” manusia (dengan pembenihan, penanaman, dan sebagainya) pada lahan yang belum pernah menjadi hutan sedikitnya 50 tahun ke belakang. ”Teknis penghitungan reduksi emisi karbon oleh hutan juga sulit, mengingat daya ikat karbon setiap pohon dalam suatu hutan heterogen berbeda-beda,” jelas Deddy Hadriyanto, pakar kehutanan dari Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur. Kawasan mangrove justru lebih berpeluang dari sisi teknis.
Karenanya, hingga saat ini belum ada proyek CDM berbasis hutan dari Indonesia yang berhasil disetujui. Amat kontras dengan sektor energi alternatif yang lebih ”seksi”. Kabar terakhir, delapan proyek sudah teregistrasi di Badan Eksekutif CDM. Hampir semuanya berbasis energi.
Chevron Geothermal Indonesia (CGI), melalui proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Darajat Unit III adalah yang terakhir mendapat persetujuan, Desember tahun lalu, dengan kapasitas pembangkit sebesar 110 megawatt. Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara dengan kandungan panas bumi amat besar, bahkan yang terbesar di dunia atau 40 persen dari cadangan panas bumi dunia. Menurut riset yang dilakukan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, di seluruh kepulauan Indonesia sedikitnya ada 244 titik yang merupakan sumber panas bumi potensial, dengan kapasitas pembangkit sebesar 29.000 megawatt. Namun, hingga saat ini, jumlah total yang tereksplorasi hanya sekitar 1.000 megawatt, alias baru sekira lima persen. Sebagai perbandingan betapa efisiennya tenaga geotermal, 1.000 megawatt ekivalen geotermal untuk 30 tahun setara dengan 465 juta barel minyak bumi.
Menurut data CGI, emisi karbon dioksida dari pembangkit listrik tenaga panas bumi hanya sekitar sepersepuluh dari emisi yang diembuskan oleh pembangkit konvensional seperti batu bara, dan seperenam dari bahan bakar disel dan minyak. Selisih jumlah emisi inilah yang bisa dijadikan kredit karbon untuk diperjualbelikan.
Namun, bukan berarti sumber energi ini tidak memiliki kelemahan. Halangan utama eksplorasi panas bumi terletak pada besarnya biaya investasi, terutama jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Komoditas ini juga tidak dapat diekspor seperti halnya minyak bumi. Selain itu, berbeda dengan minyak dan batu bara, mobilitas panas bumi juga rendah, tidak dapat berpindah-pindah dengan leluasa. Karena itu, pemanfaatannya mesti langsung dari sumber eksplorasi.
Proyek lain yang cukup menarik adalah pemanfaatan limbah hewan yang dilakukan oleh peternakan PT Indotirta Suaka Bulan di Riau dan Lampung Bekri Biogas. Suaka Bulan mengelola kotoran dari peternakan babi seluas 1.700 hektare di Pulau Bulan, Riau. Dengan teknik pencerna anaerobik (anaerobic digester), gas metana (CH4, salah satu GRK) yang ditangkap bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar. Rata-rata, setiap tahunnya instalasi biogas ini diperkirakan dapat mengurangi emisi karbon sebesar 166.000 ribu ton CO2e.
Mirip dengan Suaka Bulan, Lampung Bekri menggunakan reaktor anaerobik bawah tanah tertutup (CIGAR) untuk menangkap gas metana dari kotoran sapi. Komposisi biogas yang diperoleh melalui proyek berskala kecil ini adalah 65% metana dan 35% CO2, dengan rata-rata reduksi emisi 18.826 ton CO2e per tahun. Produk kompor pun bisa dimanfaatkan untuk proyek CDM. Tetapi bukan sembarang kompor, tentunya. Alat masak yang diproduksi oleh PT Petromat Agrotech yang berkongsi dengan Klimaschutz e.V. dari Jerman ini menggunakan tenaga matahari sebagai sumber panasnya. Dengan begitu, penggunaan minyak tanah atau gas elpiji yang menghasilkan polusi karbon bisa ditekan. ”Kompor ini merupakan bagian dari usaha memperbaiki lingkungan, karena itu kami amat mendukungnya,” ucap Rudi Wahyudi dari Petromat Agrotech.
Berdiameter sekitar satu meter, bentuk kompor surya ini relatif sederhana, mirip sebuah parabola yang bagian permukaan cekungnya dilapisi bahan cermin yang bisa memantulkan cahaya. Dengan bentuk parabola, cahaya bisa dipantulkan terpusat ke sebuah penyangga wadah masak, sehingga menghasilkan panas yang cukup untuk memasak berbagai jenis makanan, mulai nasi goreng hingga sayur sup. Menurut rencana, akhir Februari, sekitar 1.000 unit kompor surya ini akan diserahkan secara cuma-cuma kepada para nelayan di Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam.
Saat ini ada dua proyek lagi dari Indonesia yang masih mengantre untuk disetujui oleh Badan Eksekutif CDM. Bukan tidak mungkin jumlahnya akan terus bertambah. Hingga saat ini, beberapa proposal proyek juga terus diterima oleh Komnas MPB.
Kabar baik? Belum tentu. Yang perlu didesak adalah komitmen setiap pihak untuk melestarikan lingkungan, tidak peduli apakah ada atau tidak ada keuntungan finansial di belakangnya. Apalagi sekadar upaya menghapus dosa, seperti yang dikhawatirkan Martin Luther terhadap gereja Katolik lima abad silam.
*Artikel ini sudah dimuat dalam National Geographic Indonesia edisi Maret 2007.
Apakah Itu Sebuah Pisang di Air Anda?
-Ilmu pengetahuan terbaru menunjukkan kulit buah dapat menghilangkan logam berat dari air-
Kini, kulit pisang tidak lagi digunakan sebatas bahan baku pengomposan atau bahan lelucon yang membuat seseorang tergelincir dalam pertunjukkan komedi. Kemajuan ilmu pengetahuan terbaru menunjukkan bahwa kulit pisang dapat digunakan untuk menarik kontaminasi logam berat dari air sungai.
Logam seperti timah dan tembaga yang ditemukan pada saluran air berasal dari berbagai sumber, termasuk limpasan air dari pertanian dan limbah industri. Sesampainya di sana, logam berat dapat mengkontaminasi tanah dan menimbulkan risiko kesehatan bagi manusia dan spesies lainnya. Timah sendiri diketahui dapat mempengaruhi kinerja otak dan sistem syaraf.
Secara tradisional, insinyur yang meneliti kualitas air telah menggunakan silika, selulosa, dan aluminium oksida untuk mengekstrak logam berat dari air, tetapi strategi remediasi seperti ini membutuhkan biaya yang mahal dan juga berpotensi menimbulkan efek samping seperti meracuni badan air itu sendiri. Silika, selulosa, dan aluminium oksida bekerja sebagai pengekstrak karena kehadiran asam seperti yang ditemukan dalam kelompok karboksilat dan fenolik, yang dapat menarik ion logam.
Ditimbang dari sisi lain, penggunaan kulit pisang nampaknya menjadi solusi yang aman dibanding cara atau bahan lainnya. Kulit pisang juga telah diuji dan hasilnya mengungguli alternatif lainnya, kata Gustavo Castro, seorang peneliti di Institut Biosciences di Botucatu, Brasil, dan salah satu penulis studi terbaru ini terkait penggunaan kulit buah.
Untuk penelitian ini, Castro dan timnya terlebih dahulu mengeringkan kulit pisang, kemudian kulit pisang yang telah kering dimasukkan dalam termos berisi air yang mengandung logam dengan konsentrasi yang telah diketahui. Mereka juga membuat saringan air keluar dari kulit pisang dan mendorong air melaluinya.
Sesuai yang diinginkan, "logam telah dihilangkan dari air dan tetap terikat pada kulit pisang," kata Castro, menambahkan bahwa kapasitas ekstraksi kulit pisang melampaui bahan lain yang digunakan untuk menghilangkan logam berat.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa bagian-bagian tanaman lain-termasuk apel dan limbah gula tebu, serat kelapa, dan kulit kacang-juga dapat mengeluarkan racun potensial dari air.
Jangan Coba ini di Rumah
Castro tidak menyarankan penggunaan kulit pisang untuk pemurnian air di rumah. Sebagai permulaan, konsentrasi logam berat dalam air keran biasanya diabaikan. Selain itu, sementara mengontakkan kulit pisang dengan air bisa saja akan menghilangkan sejumlah kandungan logam, sehingga kebanyakan orang tidak mungkin dapat mengukur tingkat keberhasilan pengujian.
Diterjemahkan dari artikel asli:
http://news.nationalgeographic.com/news/2011/03/110311-water-pollution-lead-heavy-metal-banana-peel-innovation/
http://news.nationalgeographic.com/news/2011/03/110311-water-pollution-lead-heavy-metal-banana-peel-innovation/
Biodiversity
Keanekaragaman hayati atau biological diversity (sering juga disebut dengan biodiversity) adalah istilah untuk menyatakan tingkat keanekaragaman sumber daya alam hayati yang meliputi kelimpahan maupun penyebaran dari:
- Keanekaragaman Ekosistem. Ekosistem adalah suatu unit ekologis yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi, dan antara komponen komponen tersebut terjadi pengambilan dan perpindahan energi, daur materi, dan produktivitas.
- Keanekaragaman Spesies (Jenis). Spesies adalah kelompok organisme yang mampu dan saling berbiak satu dengan yang lain secara bebas dan menghasilkan keturunan, namun umumnya tidak berbiak dengan anggota dari jenis lain.
- Keanekaragaman Genetik. Genetik adalah berbagai variasi aspek biokimia, struktur dan sifat organisme yang diturunkan secara fisik dari induknya (orang tuanya). Genetik ini diturunkan dari ADN (Asam Deoksiribo Nukleat) yang berbentuk molekul panjang yang terdapat pada hampir semua sel.
Rabu, 12 Januari 2011
"Go Green", Kapitalisasi Dibalik Isu Lingkungan (2-Selesai)
Pernah mendengar pembagian kasta dunia versi Barat? Istilah seperti Dunia ke 1, 2 dan 3 misalnya. Istilah yang pertama kali muncul di masa awal terjadinya Perang Dingin tahun (Cold War) antara negara-negara penganut ideologi Kapitalisme (Amerika Serikat dan sekutu) melawan negara penganut ideologi Komunisme yang saat itu adalah Uni Soviet. Pada masa itu, negara-negara lain yang tidak turut andil dalam perang dikarenakan tidak memiliki kekuatan dan kepentingan dianggap sebagai negara dari Dunia ke 3. Bernada pelecehan memang, namun tidak bisa dipungkiri mengingat masa-masa tersebut adalah masa dimana ideologi sebagai way of life dari tiap bangsa memainkan perannya untuk menyebarkan paham kepada bangsa lain. Imbas dari penyebaran ideologi adalah benturan, baik itu berupa fisik maupun sekedar pemikiran. Bagi negara-negara yang tergabung dalam dewan keamanan PBB tentunya benturan fisik berupa perang militer bukanlah sesuatu yang menakutkan untuk dihadapi. Jadi, sementara negara-negara maju sibuk dengan peperangan militer, negara-negara ‘kecil’ di benua hitam Afrika dan ras kuning di Asia asik membenahi diri sendiri untuk melepaskan diri dari penjajahan ataupun membangun struktur kenegaraan dari dasar setelah merdeka.
Seiring perkembangan zaman dan fakta ideologi kapitalisme-lah yang mendominasi dunia saat ini terlebih setelah keruntuhan Uni Soviet, istilah Thirld World tidaklah hilang melainkan berubah makna untuk menunjukkan sebuah negara yang terkategori miskin dan tertinggal (baca: berkembang) dalam bidang ekonomi, politik, militer, teknologi, sosial. Negara mana sajakah yang tergolong Dunia ke 3? Tidak usah jauh-jauh memikirkannya karena Indonesia sangat memenuhi syarat sebagai negara tertinggal, maksud saya berkembang.
Nah, Dunia ke 3 yang sudah kita ketahui asal-usulnya juga bisa dibilang memiliki fungsi sebagai ‘penyeimbang’ dunia saat ini meski tetap dalam frame yang negatif alias miris. Manakala negara-negara maju semakin meningkatkan potensi dari kekuatan industri untuk menyokong perekonomian mereka yang telah mapan, negara-negara di dunia ke 3-lah yang ‘berkomitmen’ menanggung efek sampingnya. Efek sampingnya familiar terdengar seperti kerugian secara ekonomi, kerusakan lingkungan dan polusi yang dihasilkan. Ini adalah konsekuensi yang harus ditanggung oleh tiap negara yang baru bisa merdeka setelah perang dunia kedua usai. Dimana secara politik negara-negara yang pernah terjajah tidak memiliki kekuatan untuk menyetujui atau tidak menyetujui kesepakatan-kesepakatan internasional. Sejarah masa lalu pastinya tidak ketinggalan menjadi faktor betapa mudahnya negara berkembang terikat dengan perjanjian-perjanjian merugikan dengan negara maju dikarenakan sebagian undang-undang yang diadopsi pemerintah masa kini berasal dari negara yang pernah menguasainya.
Saat kita bicara tentang negara maju, pastilah kita langsung membayangkan suatu negara yang besar, ekonomi mapan, industrialisasi di berbagai bidang, gaya hidup modern dan pendidikan berkualitas. Penyandangnya pun tidak banyak, yang terlintas di pikiran sekitar Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan Cina mungkin sebagai perwakilan dari Asia. Ya, nama-nama yang sebagian besar menghuni sebagai Dewan Keamanan PBB. Tidak salah mereka diidentikkan dengan negara industrialis, karena toh mereka menjadi maju di berbagai sendi kehidupan karena telah menjalani fase tersebut. Dengan industrialisasi mereka telah menjadi negara-negara produsen bermacam produk. Barang-barang hasil produksinya diekspor ke berbagai belahan bumi. Dan keuntungan dalam bentuk uang kertas berwarna hijau telah menyokong pembangunan di sepanjang tahun. Wajar bukan bila negara industri membutuhkan banyak pabrik. Pabrik jelas membutuhkan bahan baku untuk diolah menjadi barang jadi maupun setengah jadi. Dan pada prosesnya haruslah dimulai dengan ketersediaan energi yang mayoritas pabrik masih memanfaatkan bahan bakar dari fosil sebagai sumbernya. Bicara soal energi, saya jadi teringat dengan hukum Thermodinamika yang ke 2, bahwa transfer energi tidak ada yang bisa berjalan sempurna, alias selalu ada yang menjadi terbuang (entropi). Anda benar, ujung-ujungnya soal limbah dan polusi.
Okelah, sedikitnya kita sudah mulai bisa menyimpulkan bahwa negara yang besar karena industri pasti menghasilkan polusi yang besar pula. Maka seharusnya, negara seperti AS, Jerman, Perancis dan lainnyalah yang bertanggungjawab lebih besar terhadap kerusakan lingkungan saat ini. Dan juga teramat wajar negara-negara dari Dunia ke 3 menuntut upaya konkret dari negara maju berupa perbaikan dari segala kesalahan yang telah diperbuat. Lho, kenapa negara-negara berkembang mendadak menjadi begitu agresif bila menyinggung isu tentang kerusakan lingkungan? Usut punya usut ternyata hal ini terkait dengan kebijakan dalam negeri untuk terus mengembangkan industrialisasi demi mengejar ketertinggalan dari negara maju. Saat negara-negara kepulauan di pasifik selatan ingin berkembang, mereka sudah lebih dulu terancam oleh kenaikan tinggi air laut setiap tahunnya. Tidak jauh berbeda dengan negara-negara di benua Afrika yang mengalami hambatan berupa krisis air akibat kekeringan yang semakin buruk dan suhu yang ekstrem sedangkan di sisi lain keinginan untuk menjadi negara maju terus terbayang. Ketidakadilan, tentunya itu yang dirasakan. Negara maju boleh membanggakan keunggulannya setelah mengeksploitasi sumber daya alam di dalam negerinya sendiri maupun dari negara-negara berkembang yang terpaksa menandatangani MoU karena terpincut iming-iming kemungkinan untuk ‘belajar’ dari negara yang sedang menjamahnya. Sedangkan bila menyangkut kerusakan yang ditimbulkan, keangkuhan negara maju berupa national well-being dan prestise akan menghambat upaya untuk turut bertanggungjawab.
Sampai disini, masalah lingkungan yang awalnya dalam taraf “low politics” menjadi “high-politics”. Kepentingan dari tiap negara bermain di isu global ini. Negara-negara yang tergabung dalam Developing Countries terus menuntut partisipasi signifikan dari negara maju. Sedangkan negara maju jelas merasa dirugikan bilamana mereka harus memenuhi tuntutan tersebut. Lihat saja contohnya saat Protokol Kyoto ditolak mentah-mentah oleh negeri adidaya Amerika Serikat. Mereka sadar, bilamana menuruti isi protokol tersebut yang mengharuskan tiap negara menurunkan emisi Gas Rumah Kacanya hingga 7% pada tahun 2012 tentu akan memukul kegiatan industri dalam negeri. Padahal kebijakan dalam negeri dari tiap-tiap negara maju yang menganut sistem ekonomi kapitalis, menitikberatkan pada nilai total barang dan jasa yang diproduksi dalam satu tahun yang disebut GNP (Gross National Product) untuk mempertahankan status sebagai Developed Countries. Ditambah lagi tuntutan lainnya dari Protokol Kyoto agar negara maju mentransfer teknologi yang ramah lingkungan kepada negara berkembang yang diantaranya berupa konversi energi dari penggunaan batu bara sebagai bahan bakar menjadi gas yang tentunya akan meningkatkan biaya produksi.
Mundurnya AS dan kerabat dekatnya dari ratifikasi Protokol Kyoto pada 13 Maret 2001 tidak mengartikan mereka benar-benar melepas diri dari ‘usaha’ untuk menghijaukan lingkungan. Mereka menyadari, setidaknya untuk saat ini bahwa negara mereka bisa bertahan dalam kondisi lingkungan yang buruk meski menghasikan kondisi ekonomi yang menyilaukan. Tapi hal ini tidak akan berlangsung lama karena sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya. Meskipun kita tahu, sejumlah besar cadangan sumber daya yang negara maju seperti AS gunakan berada di negara-negara berkembang. Bagaimana mungkin di satu sisi AS mencaci pembuangan emisi berlebihan sedangkan di sisi lain perusahaan-perusahaan multinasional mereka sebagian besar bercokol di suatu negara. Andaikata mereka benar-benar melepas diri dari upaya perbaikan lingkungan, maka kelangsungan perusahaan-perusahaan mereka yang telanjur bercokol di Indonesia misalnya, seperti Exxon Mobil Corp, Ford Motor Company, Texaco, British Petroleum, General Motors, Royal Dutch Shell, dan Daimler Chrysler tidak akan senyaman seperti saat ini.
Cerdas bukan, hal-hal seperti ini sudah dipikirkan negara-negara kapitalis puluhan bahkan ratusan tahun sebelum mereka benar-benar merudapaksa segala potensi dari suatu negeri yang tidak berdaya. Imperialisme atau penjajahan bukan suatu yang mengagetkan, karena dengan cara itulah ideologi kapitalisme yang diemban suatu negara bisa bertahan. Penjajahan fisik mungkin trik lama dan terlalu menguras tenaga serta biaya. Lebih mudah dengan cara penjajahan pemikiran dengan menguasai kebijakan suatu negara dan perekonomiannya lewat hak pemesanan eksklusif undang-undang.
Sekilas kita bertanya, toh lama kelamaan kesadaran masyarakat suatu negara yang ‘terjajah’ akan timbul dan tuntutan untuk mengembalikan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak dalam negeri semakin memanas, lalu bagaimana negara maju seperti AS yang dominan pengaruhnya di negeri ini mengatasinya? Dengan memainkan opini tentunya. Menunggangi upaya forum-forum internasional yang concern menurunkan CO2 di atmosfer atau mengenalkan ide-ide ‘segar’ untuk mengadopsi energi hijau alternatif menggantikan energi konvensional biasa dipamerkan sebagai alat. Bagaimana kucuran dana dari asing mengalir untuk mensponsori berbagai penelitian yang terkait dengan green technology atau green energy, pujian dan penghargaan yang diberikan bagi anak bangsa saat menemukan briket dari limbah organik hingga apresiasi berlebihan saat penerapan energi yang berasal dari tinja diwujudkan. Tentunya masyarakat awam dan terbelakang secara pengetahuan akan mudahnya terbuai. Seolah dalam hal energi kembali ke kotoran merupakan kemajuan, padahal dibalik itu semua negara-negara maju sedang menertawakan sembari memanfaatkan nuklir sebagai energi menyongsong masa depan. Jutaan dolar yang dikucurkan asing untuk mensponsori kegiatan bertema lingkungan pun tidak terlalu berarti dibandingkan keuntungan yang digenggam dari eksplorasi dan eksploitasi kekayaan sumbar daya alam yang ada di Indonesia dan negara-negara terjajah lainnya. Neokolonialisme, begitu para cendikiawan bilang. Ya, penjajahan dan pembodohan yang tidak dirasakan.
Kesimpulan
Bahwa upaya-upaya perbaikan lingkungan selamanya hanya akan membangkitkan kesadaran individu-individu semata meskipun dirangkum dalam agenda-agenda berskala internasional. Kebijakan perkumpulan masyarakat pasti akan bersinggungan dengan kebijakan suatu negara. Dan kebijakan suatu negara selalu terikat dengan ideologi yang dianutnya. Selama ideologi yang dianut adalah kapitalisme ataupun komunisme yang menuhankan materi, rakus dan tamak, maka upaya-upaya suci di atas hanya akan berkutat di wilayah pinggiran dan tidak bersifat kolektif. Penulis pernah bertanya pada seorang dosen untuk memberikan contoh satu saja negara yang berhasil menerapkan teori-teori terkait kebijakan lingkungan melawan pemanasan global. Dan jawabannya adalah nol, belum ada. Padahal teori-teori panjang telah dijadikan kurikulum, ratusan jurnal penelitian memenuhi perpustakaan umum, namun tetap saja kenyataannya selalu mentah di tangan penguasa yang mengendalikan undang-undang. Kita harus membuka mata, mencerdaskan diri dan berpikir kritis, bahwa dibalik suatu kebijakan selalu ada kepentingan. Seperti yang dinyatakan Small Group Theory, perilaku politik luar negeri suatu negara ditentukan oleh sekelompok kecil orang yang memiliki akses tertentu terhadap sumber daya tertentu.
Baca Juga: Kebijakan Khilafah di Bidang Energi
Seiring perkembangan zaman dan fakta ideologi kapitalisme-lah yang mendominasi dunia saat ini terlebih setelah keruntuhan Uni Soviet, istilah Thirld World tidaklah hilang melainkan berubah makna untuk menunjukkan sebuah negara yang terkategori miskin dan tertinggal (baca: berkembang) dalam bidang ekonomi, politik, militer, teknologi, sosial. Negara mana sajakah yang tergolong Dunia ke 3? Tidak usah jauh-jauh memikirkannya karena Indonesia sangat memenuhi syarat sebagai negara tertinggal, maksud saya berkembang.
Nah, Dunia ke 3 yang sudah kita ketahui asal-usulnya juga bisa dibilang memiliki fungsi sebagai ‘penyeimbang’ dunia saat ini meski tetap dalam frame yang negatif alias miris. Manakala negara-negara maju semakin meningkatkan potensi dari kekuatan industri untuk menyokong perekonomian mereka yang telah mapan, negara-negara di dunia ke 3-lah yang ‘berkomitmen’ menanggung efek sampingnya. Efek sampingnya familiar terdengar seperti kerugian secara ekonomi, kerusakan lingkungan dan polusi yang dihasilkan. Ini adalah konsekuensi yang harus ditanggung oleh tiap negara yang baru bisa merdeka setelah perang dunia kedua usai. Dimana secara politik negara-negara yang pernah terjajah tidak memiliki kekuatan untuk menyetujui atau tidak menyetujui kesepakatan-kesepakatan internasional. Sejarah masa lalu pastinya tidak ketinggalan menjadi faktor betapa mudahnya negara berkembang terikat dengan perjanjian-perjanjian merugikan dengan negara maju dikarenakan sebagian undang-undang yang diadopsi pemerintah masa kini berasal dari negara yang pernah menguasainya.
Saat kita bicara tentang negara maju, pastilah kita langsung membayangkan suatu negara yang besar, ekonomi mapan, industrialisasi di berbagai bidang, gaya hidup modern dan pendidikan berkualitas. Penyandangnya pun tidak banyak, yang terlintas di pikiran sekitar Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan Cina mungkin sebagai perwakilan dari Asia. Ya, nama-nama yang sebagian besar menghuni sebagai Dewan Keamanan PBB. Tidak salah mereka diidentikkan dengan negara industrialis, karena toh mereka menjadi maju di berbagai sendi kehidupan karena telah menjalani fase tersebut. Dengan industrialisasi mereka telah menjadi negara-negara produsen bermacam produk. Barang-barang hasil produksinya diekspor ke berbagai belahan bumi. Dan keuntungan dalam bentuk uang kertas berwarna hijau telah menyokong pembangunan di sepanjang tahun. Wajar bukan bila negara industri membutuhkan banyak pabrik. Pabrik jelas membutuhkan bahan baku untuk diolah menjadi barang jadi maupun setengah jadi. Dan pada prosesnya haruslah dimulai dengan ketersediaan energi yang mayoritas pabrik masih memanfaatkan bahan bakar dari fosil sebagai sumbernya. Bicara soal energi, saya jadi teringat dengan hukum Thermodinamika yang ke 2, bahwa transfer energi tidak ada yang bisa berjalan sempurna, alias selalu ada yang menjadi terbuang (entropi). Anda benar, ujung-ujungnya soal limbah dan polusi.
Okelah, sedikitnya kita sudah mulai bisa menyimpulkan bahwa negara yang besar karena industri pasti menghasilkan polusi yang besar pula. Maka seharusnya, negara seperti AS, Jerman, Perancis dan lainnyalah yang bertanggungjawab lebih besar terhadap kerusakan lingkungan saat ini. Dan juga teramat wajar negara-negara dari Dunia ke 3 menuntut upaya konkret dari negara maju berupa perbaikan dari segala kesalahan yang telah diperbuat. Lho, kenapa negara-negara berkembang mendadak menjadi begitu agresif bila menyinggung isu tentang kerusakan lingkungan? Usut punya usut ternyata hal ini terkait dengan kebijakan dalam negeri untuk terus mengembangkan industrialisasi demi mengejar ketertinggalan dari negara maju. Saat negara-negara kepulauan di pasifik selatan ingin berkembang, mereka sudah lebih dulu terancam oleh kenaikan tinggi air laut setiap tahunnya. Tidak jauh berbeda dengan negara-negara di benua Afrika yang mengalami hambatan berupa krisis air akibat kekeringan yang semakin buruk dan suhu yang ekstrem sedangkan di sisi lain keinginan untuk menjadi negara maju terus terbayang. Ketidakadilan, tentunya itu yang dirasakan. Negara maju boleh membanggakan keunggulannya setelah mengeksploitasi sumber daya alam di dalam negerinya sendiri maupun dari negara-negara berkembang yang terpaksa menandatangani MoU karena terpincut iming-iming kemungkinan untuk ‘belajar’ dari negara yang sedang menjamahnya. Sedangkan bila menyangkut kerusakan yang ditimbulkan, keangkuhan negara maju berupa national well-being dan prestise akan menghambat upaya untuk turut bertanggungjawab.
Sampai disini, masalah lingkungan yang awalnya dalam taraf “low politics” menjadi “high-politics”. Kepentingan dari tiap negara bermain di isu global ini. Negara-negara yang tergabung dalam Developing Countries terus menuntut partisipasi signifikan dari negara maju. Sedangkan negara maju jelas merasa dirugikan bilamana mereka harus memenuhi tuntutan tersebut. Lihat saja contohnya saat Protokol Kyoto ditolak mentah-mentah oleh negeri adidaya Amerika Serikat. Mereka sadar, bilamana menuruti isi protokol tersebut yang mengharuskan tiap negara menurunkan emisi Gas Rumah Kacanya hingga 7% pada tahun 2012 tentu akan memukul kegiatan industri dalam negeri. Padahal kebijakan dalam negeri dari tiap-tiap negara maju yang menganut sistem ekonomi kapitalis, menitikberatkan pada nilai total barang dan jasa yang diproduksi dalam satu tahun yang disebut GNP (Gross National Product) untuk mempertahankan status sebagai Developed Countries. Ditambah lagi tuntutan lainnya dari Protokol Kyoto agar negara maju mentransfer teknologi yang ramah lingkungan kepada negara berkembang yang diantaranya berupa konversi energi dari penggunaan batu bara sebagai bahan bakar menjadi gas yang tentunya akan meningkatkan biaya produksi.
Mundurnya AS dan kerabat dekatnya dari ratifikasi Protokol Kyoto pada 13 Maret 2001 tidak mengartikan mereka benar-benar melepas diri dari ‘usaha’ untuk menghijaukan lingkungan. Mereka menyadari, setidaknya untuk saat ini bahwa negara mereka bisa bertahan dalam kondisi lingkungan yang buruk meski menghasikan kondisi ekonomi yang menyilaukan. Tapi hal ini tidak akan berlangsung lama karena sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya. Meskipun kita tahu, sejumlah besar cadangan sumber daya yang negara maju seperti AS gunakan berada di negara-negara berkembang. Bagaimana mungkin di satu sisi AS mencaci pembuangan emisi berlebihan sedangkan di sisi lain perusahaan-perusahaan multinasional mereka sebagian besar bercokol di suatu negara. Andaikata mereka benar-benar melepas diri dari upaya perbaikan lingkungan, maka kelangsungan perusahaan-perusahaan mereka yang telanjur bercokol di Indonesia misalnya, seperti Exxon Mobil Corp, Ford Motor Company, Texaco, British Petroleum, General Motors, Royal Dutch Shell, dan Daimler Chrysler tidak akan senyaman seperti saat ini.
Cerdas bukan, hal-hal seperti ini sudah dipikirkan negara-negara kapitalis puluhan bahkan ratusan tahun sebelum mereka benar-benar merudapaksa segala potensi dari suatu negeri yang tidak berdaya. Imperialisme atau penjajahan bukan suatu yang mengagetkan, karena dengan cara itulah ideologi kapitalisme yang diemban suatu negara bisa bertahan. Penjajahan fisik mungkin trik lama dan terlalu menguras tenaga serta biaya. Lebih mudah dengan cara penjajahan pemikiran dengan menguasai kebijakan suatu negara dan perekonomiannya lewat hak pemesanan eksklusif undang-undang.
Sekilas kita bertanya, toh lama kelamaan kesadaran masyarakat suatu negara yang ‘terjajah’ akan timbul dan tuntutan untuk mengembalikan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak dalam negeri semakin memanas, lalu bagaimana negara maju seperti AS yang dominan pengaruhnya di negeri ini mengatasinya? Dengan memainkan opini tentunya. Menunggangi upaya forum-forum internasional yang concern menurunkan CO2 di atmosfer atau mengenalkan ide-ide ‘segar’ untuk mengadopsi energi hijau alternatif menggantikan energi konvensional biasa dipamerkan sebagai alat. Bagaimana kucuran dana dari asing mengalir untuk mensponsori berbagai penelitian yang terkait dengan green technology atau green energy, pujian dan penghargaan yang diberikan bagi anak bangsa saat menemukan briket dari limbah organik hingga apresiasi berlebihan saat penerapan energi yang berasal dari tinja diwujudkan. Tentunya masyarakat awam dan terbelakang secara pengetahuan akan mudahnya terbuai. Seolah dalam hal energi kembali ke kotoran merupakan kemajuan, padahal dibalik itu semua negara-negara maju sedang menertawakan sembari memanfaatkan nuklir sebagai energi menyongsong masa depan. Jutaan dolar yang dikucurkan asing untuk mensponsori kegiatan bertema lingkungan pun tidak terlalu berarti dibandingkan keuntungan yang digenggam dari eksplorasi dan eksploitasi kekayaan sumbar daya alam yang ada di Indonesia dan negara-negara terjajah lainnya. Neokolonialisme, begitu para cendikiawan bilang. Ya, penjajahan dan pembodohan yang tidak dirasakan.
Kesimpulan
Bahwa upaya-upaya perbaikan lingkungan selamanya hanya akan membangkitkan kesadaran individu-individu semata meskipun dirangkum dalam agenda-agenda berskala internasional. Kebijakan perkumpulan masyarakat pasti akan bersinggungan dengan kebijakan suatu negara. Dan kebijakan suatu negara selalu terikat dengan ideologi yang dianutnya. Selama ideologi yang dianut adalah kapitalisme ataupun komunisme yang menuhankan materi, rakus dan tamak, maka upaya-upaya suci di atas hanya akan berkutat di wilayah pinggiran dan tidak bersifat kolektif. Penulis pernah bertanya pada seorang dosen untuk memberikan contoh satu saja negara yang berhasil menerapkan teori-teori terkait kebijakan lingkungan melawan pemanasan global. Dan jawabannya adalah nol, belum ada. Padahal teori-teori panjang telah dijadikan kurikulum, ratusan jurnal penelitian memenuhi perpustakaan umum, namun tetap saja kenyataannya selalu mentah di tangan penguasa yang mengendalikan undang-undang. Kita harus membuka mata, mencerdaskan diri dan berpikir kritis, bahwa dibalik suatu kebijakan selalu ada kepentingan. Seperti yang dinyatakan Small Group Theory, perilaku politik luar negeri suatu negara ditentukan oleh sekelompok kecil orang yang memiliki akses tertentu terhadap sumber daya tertentu.
Baca Juga: Kebijakan Khilafah di Bidang Energi
Senin, 03 Januari 2011
"Go Green", Kapitalisasi Dibalik Isu Lingkungan (1)
Dalam 10 tahun belakangan ini sebut saja beberapa istilah asing seperti Global Warming, Go Green, Back to Nature, Save the Earth dan sejenisnya santer anda dengar dan saksikan baik lewat media elekronik maupun cetak. Tidak ada masalah tentang istilah-itilah 'hijau' di atas karena faktanya semangat kesadaran dalam menjaga bumi anda tetap lestari terkandung di dalamnya. Pemikiran mendasar bahwa bumi adalah bagian dari sistem kehidupan galaksi 'Milky Way' yang mampu menjadi tempat bermukim bagi milyaran organisme yang kemudian masing-masingnya membentuk kesatuan ekosistem baik air, darat maupun ekosistem buatan, seperti yang kita pelajari bersama di sekolah dasar. Bilamana bumi itu terganggu, maka kehidupan di dalamnya tidak mungkin berjalan stabil. Inilah yang mungkin menjadi pemicu lahirnya istilah-istilah tersebut.
Kesadaran untuk menjaga kelestarian bumi sudah tercetuskan sejak pertama kali diselenggarakannya Earth Summit tahun 1972 di kota Stockholm, Jerman. Seperti terlambat bukan? Manakala pergerakan industri sudah dimulai sejak berabad-abad sebelumnya dan menumpahkan jutaan kubik karbon, kita manusia baru mencermati efeknya puluhan tahun yang lalu.
Earth Summit itu sendiri selalu membahas aspek-aspek lingkungan yang menyangkut soal penurunan kualitas udara, air, penipisan lapisan ozon, epidemi penyakit, punahnya beberapa spesies flora serta fauna dan penurunan kualitas tanah yang khusus menyebabkan menurunnya tingkat produksi pangan dunia. Tercatat dalam 38 tahun terakhir UN (PBB) telah sukses menyelenggarakan Kongres Bumi sebanyak 10 kali (terakhir di Beijing) yang pesertanya adalah tiap kepala negara di dunia termasuk Indonesia.
Menurut anda, berhasilkah upaya-upaya perbaikan lingkungan yang dirumuskan lewat kongres besar tersebut? Ternyata tidak. Sekalipun kepala negara telah mewakili semangat perbaikan anda para pemerhati lingkungan, slogan tetaplah hanya menjadi kumpulan abjad bila tidak diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Berbagai kongres telah diselenggarakan, milyaran dolar telah dikucurkan, bahkan bumi ini memiliki Protokol Kyoto yang lahir pada 1997 yang merupakan persetujuan internasional mengenai pemanasan global dimana tiap negara maju wajib menurunkan gas rumah kaca sebesar 5% dalam kurun waktu 4 tahun antara 2008 sampai 2012 dimana protokol tersebut menjadi kadaluarsa.
Faktanya kita patut pesimistis terhadap upaya-upaya bertaraf internasional dalam menyikapi isu Global Warming-Global Warning ini melihat bahwa tahun 2010 yang baru saja terlewati menjadi saksi betapa bumi yang kita cintai ini menghadapi masalah yang serius. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) meliris statement bahwa tahun 2010 merupakan tahun yang terpanas sejak awal pendataan terkait suhu pada 1880! Bahkan bila anda rajin mengikuti berita global sepanjang tahun kemarin beberapa peristiwa terkait perubahan iklim dunia dan cuaca ekstrem berhasil menjadi sensasi. Jika mencairnya gletser dalam skala besar di kutub utara sudah menjadi hal yang 'biasa', maka pada bulan Januari 2010 berita membekunya air terjun Minnehaha di Minnesota (AS) saya perkirakan sempat mengejutkan anda. Bagaimana dengan tayangan dari National Geographic Channel, saat peneliti di kutub utara menemukan beruang kutub yang mati tenggelam karena tidak menemukan lapisan es yang cukup tebal untuk menopang bobot tubuhnya setelah berenang mencari makan? Setidaknya anda sudah bisa menerima bahwa negeri ini telah kehilangan 'Salju Abadi' dari puncak pegunungan Jaya Wijaya, Papua. Berita-berita buruk di atas masih ditambah dengan tumpahan minyak terburuk dalam sejarah AS di Teluk Meksiko yang menyebabkan laut tercemar tidak kurang dari 5 juta barrel minyak.
Akan ada banyak peristiwa yang mencengangkan tentang bumi bila terungkap semuanya. Dan 2011 bukanlah tahun yang lebih ramah bila memperhatikan pendahulunya. Saat kita menobatkan suatu zaman sebagai era modern, maka sesungguhnya itu hanya berlaku bagi manusia dan teknologi yang digunakannya. How about the earth? Mungkin slogan stasiun televisi musik terpopuler MTV saat turut memperhatikan isu pemanasan global bisa mengingatkan anda, "Manusia semakin maju, namun bumi semakin tertinggal."
Tulisan selanjutnya akan mengulas ragam isu diatas dari sudut pandang yang berbeda.
Kesadaran untuk menjaga kelestarian bumi sudah tercetuskan sejak pertama kali diselenggarakannya Earth Summit tahun 1972 di kota Stockholm, Jerman. Seperti terlambat bukan? Manakala pergerakan industri sudah dimulai sejak berabad-abad sebelumnya dan menumpahkan jutaan kubik karbon, kita manusia baru mencermati efeknya puluhan tahun yang lalu.
Earth Summit itu sendiri selalu membahas aspek-aspek lingkungan yang menyangkut soal penurunan kualitas udara, air, penipisan lapisan ozon, epidemi penyakit, punahnya beberapa spesies flora serta fauna dan penurunan kualitas tanah yang khusus menyebabkan menurunnya tingkat produksi pangan dunia. Tercatat dalam 38 tahun terakhir UN (PBB) telah sukses menyelenggarakan Kongres Bumi sebanyak 10 kali (terakhir di Beijing) yang pesertanya adalah tiap kepala negara di dunia termasuk Indonesia.
Menurut anda, berhasilkah upaya-upaya perbaikan lingkungan yang dirumuskan lewat kongres besar tersebut? Ternyata tidak. Sekalipun kepala negara telah mewakili semangat perbaikan anda para pemerhati lingkungan, slogan tetaplah hanya menjadi kumpulan abjad bila tidak diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Berbagai kongres telah diselenggarakan, milyaran dolar telah dikucurkan, bahkan bumi ini memiliki Protokol Kyoto yang lahir pada 1997 yang merupakan persetujuan internasional mengenai pemanasan global dimana tiap negara maju wajib menurunkan gas rumah kaca sebesar 5% dalam kurun waktu 4 tahun antara 2008 sampai 2012 dimana protokol tersebut menjadi kadaluarsa.
Faktanya kita patut pesimistis terhadap upaya-upaya bertaraf internasional dalam menyikapi isu Global Warming-Global Warning ini melihat bahwa tahun 2010 yang baru saja terlewati menjadi saksi betapa bumi yang kita cintai ini menghadapi masalah yang serius. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) meliris statement bahwa tahun 2010 merupakan tahun yang terpanas sejak awal pendataan terkait suhu pada 1880! Bahkan bila anda rajin mengikuti berita global sepanjang tahun kemarin beberapa peristiwa terkait perubahan iklim dunia dan cuaca ekstrem berhasil menjadi sensasi. Jika mencairnya gletser dalam skala besar di kutub utara sudah menjadi hal yang 'biasa', maka pada bulan Januari 2010 berita membekunya air terjun Minnehaha di Minnesota (AS) saya perkirakan sempat mengejutkan anda. Bagaimana dengan tayangan dari National Geographic Channel, saat peneliti di kutub utara menemukan beruang kutub yang mati tenggelam karena tidak menemukan lapisan es yang cukup tebal untuk menopang bobot tubuhnya setelah berenang mencari makan? Setidaknya anda sudah bisa menerima bahwa negeri ini telah kehilangan 'Salju Abadi' dari puncak pegunungan Jaya Wijaya, Papua. Berita-berita buruk di atas masih ditambah dengan tumpahan minyak terburuk dalam sejarah AS di Teluk Meksiko yang menyebabkan laut tercemar tidak kurang dari 5 juta barrel minyak.
Akan ada banyak peristiwa yang mencengangkan tentang bumi bila terungkap semuanya. Dan 2011 bukanlah tahun yang lebih ramah bila memperhatikan pendahulunya. Saat kita menobatkan suatu zaman sebagai era modern, maka sesungguhnya itu hanya berlaku bagi manusia dan teknologi yang digunakannya. How about the earth? Mungkin slogan stasiun televisi musik terpopuler MTV saat turut memperhatikan isu pemanasan global bisa mengingatkan anda, "Manusia semakin maju, namun bumi semakin tertinggal."
Tulisan selanjutnya akan mengulas ragam isu diatas dari sudut pandang yang berbeda.
Langganan:
Postingan (Atom)